Anda pasti pernah mendengar ungkapan ini, ” Tertawalah maka seluruh dunia akan ikut tertawa” Ternyata ungkapan ini bukanlah isapan jempol. Jika melihat orang tertawa atau membaca suatu cerita yang mendeskripsikan tentang tertawa, tanpa disadari seseorang akan ikut tersenyum atau tertawa. Jika menguap bisa menular, tertawa bisa menular.
Berdasarkan sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa tertawa memang benar-benar bisa menular. Otak akan merespons suara tawa dan menghubungkan otot-otot wajah sebagai persiapan untuk bergabung dengan ekspresi kegembiraan tersebut.
"Hasil ini menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar, yaitu tertawalah maka seluruh dunia akan ikut tertawa bersama dengan Anda," ujar Sophie Scott, seorang ilmuwan syaraf di University College London, seperti dikutip dari MSNBC, Kamis (16/9/2010).
Lebih lanjut Scott menuturkan sejak beberapa waktu lalu, peneliti telah mengetahui ketika seseorang berbicara dengan orang lain, maka hal tersebut sering menjadi cermin perilakunya.
Tanpa disadari seserang akan menyalin kata-kata yang didengar dan menirukan gerak tubuh orang lain. Sepertinya hal ini juga berlaku untuk kondisi tertawa, setidaknya pada tingkat otak.
Scott dan rekan-rekan peneliti melakukan analisa serangkaian suara terhadap partisipan dan mengukur respons di otaknya dengan fMRI scanner. Beberapa suara seperti tertawa atau teriak kemenangan termasuk dalam suara positif, sedangkan suara menjerit atau muntah-muntah termasuk dalam suara negatif.
Semua suara ini akan memicu respons di daerah premotor kortikal di otak yang menyiapkan otot di wajah untuk bergerak sesuai dengan suara yang didengar.
"Respons akan jauh lebih tinggi dan lebih menular terhadap suara positif daripada suara negatif. Hal inilah yang memaksa seseorang ikut tersenyum ketika melihat atau mendengar orang lain tertawa," ungkap Scott.
Scott menambahkan timnya juga menguji gerakan otot wajah saat suara dimainkan, yang hasilnya orang cenderung tersenyum ketika mendengar suara tawa. Tapi tidak membuat wajah ikut tersedak ketika mendengar suara muntah. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh cenderung menghindari emosi dan suara negatif.
"Masyarakat biasanya menghadapi emosi positif seperti tertawa atau bersorak sorai dalam kondisi berkelompok, sehingga secara otomatis otak akan meresponsnya dengan ikut tertawa atau tersenyum. Hal ini juga sesuatu yang dapat membantu interaksi sosial dan membangun ikatan yang kuat antar individu," ungkapnya.
Beberapa ilmuwan berpikir nenek moyang manusia mungkin tertawa lebih dulu dalam kelompoknya sebelum bisa berbicara, sehingga kemungkinan tertawa merupakan pelopor dari bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar