Cari Blog Ini

Senin, 26 September 2011

Kasiat Suruhan...



Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: MagnoliidaeOrdo: Piperales
Famili: Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus: Peperomia
Spesies: Peperomia pellucida (L.) H.B.K
Nama Lokal:
Rangu-rangu(Jawa), saladaan (Sunda), tumpangan air (Sumatera, Jakarta), gofu goroho (Ternate), ulasiman bato (Filipina), cao hu jiao (Cina).

Kandungan Kimia dan Efek Farmakologis:
Mengandung alkaloid, tanin, kalsium oksalat, lemak, dan minyak asiri. Bersifat pedas dan sejuk.
Penyakit yang dapat diobati:
Abses, bisul, jerawat, dan radang kulit, luka bakar dan terpukul, penyakit ginjal, dan sakit kepala.
Pemanfaatan:
1. Abses, bisul, jerawat, dan radang kulit
Bahan: 2 pohon tanaman segar ukuran kecil (tingginya 7-10 cm)
Cara membuat: bahan dicuci bersih, rebus dengan 3 gelas air hingga tersisa 2 gelas.
Cara menggunakan: diminum 2 kali sehari selagi hangat, masing-masing 1 gelas. Buang air sisa ramuan. Buat ramuan segar lagi setiap kali minum ramuan yang berikutnya.
2. Luka bakar dan terpukul
Bahan: tanaman segar secukupnya.
Cara membuat: bahan dicuci bersih, lalu dilumatkan.
Cara menggunakan: ditempelkan pada bagian yang sakit.
3. Penyakit ginjal
Bahan: tanaman segar ukuran kecil (tingginya 7-10 cm)
Cara membuat: bahan dicuci bersih, rebus dengan 3 gelas air hingga tersisa 2 gelas.
Cara menggunakan: diminum 2 kali sehari selagi hangat, masing-masing 1 gelas. Buang air sisa ramuan. Buat ramuan segar lagi setiap kali minum ramuan yang berikutnya.
4. Sakit kepala
Bahan: 15 lembar daun segar
Cara membuat: bahan dicuci bersih, dilumatkan hingga halus.
Cara menggunakan: tempelkan ramuan di pelipis
Cara lain:
Bahan: 2 pohon tanaman segar ukuran kecil (tingginya 7-10 cm)
Cara membuat: bahan dicuci bersih, rebus dengan 3 gelas air hingga tersisa 2 gelas.
Cara menggunakan: diminum 2 kali sehari selagi hangat, masing-masing 1 gelas. Buang air sisa ramuan. Buat ramuan segar lagi setiap kali minum ramuan yang berikutnya.

Senin, 19 September 2011

Kultur Jaringan Jati

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia, awalnya berasal dari India. Nama ilmiah Tectona gradis L. secara historis ” tectona” berasal dari bahasa Portugis ( tekton ) yang berarti tumbuhan yang mempunyai kualitas tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah ( fancy wood ) dan memiliki kelas awet yang tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun. Pohon Jati cocok tumbuh di daerah musim kering agak panjang yaitu berkisar 3-6 bulan pertahun. Besarnya curah hujan yang dibutuhkan rata-rata 1250-1300 mm/tahun dengan temperatur rata-rata tahunan 22-26° C. Daerah-daerah yang banyak ditumbuhi Jati umumnya tanah bertekstur sedang dengan pH netral hingga asam.
Kingdom         : Plantae
Divisi              : Spermatophyta
Kelas               : Angiospermae
Sub-kelas         : Dicotyledoneae
Ordo                : Verbenales
Famili              : Verbenaceae
Genus              : Tectona
Spesies            : Tectona grandis Linn.
Morfologis tanaman jati, memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m. Batang yang bebas cabang dapat mencapai antara 15-20 m bila dilakukan proses pemangkasan. Pohon jati yang tumbuh baik diameter batangnya dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu jati berwarna kecoklat-coklatan atau abu-abu dan sifatnya mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan dapat bercabang. Daun jati berbentuk opposite ( bentuk jantung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang sekitar 20-50 cm dan lebar 15-40 cm, permukaan daun berbulu. Daun muda jati berwarna kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau keabu-abuan. Tanaman jati yang tumbuh di alam dapat mencapai diameter batang 220 m, namun umumnya jati dengan diameter 50 cm sudah di tebang karena tingginya akan permintaan terhadap kayu jati. Bentuk batang pohon jati tidak teratur serta mempunyai alur. Warna kayu teras (bagian tengah), coklat muda, coklat merah tua, atau merah coklat, sedangkan warna kayu gubal (bagian luar teras hingga kulit) putih kelabu kekuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak rata. Arah serat kayu jati lurus dan agak terpadu. Permukaan kayu jati licin dan agak berminyak serta memiliki gambaran yang indah. Kambium jati memiliki sel-sel yang menghasilkan perpanjangan vertikal dan horizontal, dimulai berkembangnya inti sel berbentuk oval secara memanjang, kemudian akan membelah menjadi 2 sel dan demikian seterusnya. Pada sekitar bulan Juli-September (musim kemarau) tanaman akan mengalami gugur daun dan pada saat itu kambium akan tumbuh lebih sempit dari pertumbuhan musim penghujan. Daya risistensi yang tingi kayu jati terhadap serangan jamur dan rayap disebabkan karena zat extraktif tectoquinin 2- metiol antraqinon. Selain itu, kayu jati masih mengandung kandungan lain, seperti tripoliprena, penil naphtalhena, antraquinin dan komponen lain yang belum terditeksi. Kayu jati memiliki kadar selulosa 46,5 %, lignen 29,9%, pentosan 14,4%, abu 1,4%, dan silika 0,4%, serta nilai kalor 5,081 kal/gr. Kekuatan kayu sesuai uji terhadap rayap dan jamur tergolong kelas II. Dengan demikian, kayu jati dapat terserang rayap dengan kapasitas rendah pada kondisi kayu yang dipengaruhi oleh umur pohon, semakin tua umur kayu semakin sulit terserang rayap. Manfaat dari masing-masing bagian tubuh tanaman jati, yaitu:
1)      Kayu jati digunakan sebagai bahan baku furniture, bangunan dan kerajinan
2)      Kulit jati digunakan sebagai dinding rumah
3)      Getah jati dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit tenggorokan
4)      Daun dapat digunakan sebagi obat kolera dan pembersih luka
5)      Abu pohon jati ditumbuk dengan daun jambu batu dapat menghentikan diare
6)      Daun muda dapat digunakan sebagai pewarna (warna merah)
7)      Daun jati dapat dimanfaatkan untuk pembungkus makanan dan berbagai peralatan karena lebar dan sebagainya.
Tanaman jati muda, batang berbentuk segi empat. Perubahan dari bentuk segi empat ke bentuk bulat umumnya terjadi pada umur 3-4 tahun. Di tanah yang subur, dengan penutupan tajuk cukup rapat menyebabkan pertumbuhan batang yang meninggi lebih dominan dan percabangannya dimulai pada ketinggian 18-20 m. Pohon jati memiliki daun yang kurang lebat tetapi karena daunnya yang lebar, tajuk memberi naungan yang lebat dan merata, bentuk tajuk tidak beraturan sampai bulat telur pada tegakan yang kurang rapat tinggi tajuk agak rendah, dahan jati umumnya bengkok dan memiliki banyak tangkai dengan ranting berbentuk penampang segi empat dan berbulu halus.
Perkembangan ilmu dan teknik budidaya tanaman, saat ini telah tersedia bahan tanaman jati hasil rekayasa teknis, baik melalui pengembangan benih dari pohon plus maupun teknologi kultur vegetatif. Hasilnya berupa klon atau kultivar tanaman jati dengan daur produksi ekonomis sekitar 15 tahun sehingga dalam kurun waktu relatif singkat dapat diperoleh nilai produksi yang cukup menjanjikan. Perbanyakan atau pengembangan secara kultur jaringan atau kultur tunas merupakan upaya pengembangan tanaman melalui pembiakan sel-sel meristematis dari jaringan tanaman, seperti pucuk/tunas, ujung akar, embrio benih, atau bunga.
Secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan beberapa tahap, yaitu.
1.      penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih,
2.      sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi,
3.      penanaman pada media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas,
4.      penanaman pada media untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan
5.      aklimatisasi.
           Beberapa persyaratan pohon induk tanaman jati yaitu.
1.      Pohon memiliki kenampakan (performance) tumbuh yang baik, sehat, dan bertajuk rindang.
2.      Tinggi pohon bebas cabang minimal 4 meter.
3.      Tahan gangguan hama dan penyakit.
4.      Memiliki kematangan umur (maturasi) yang optimal (≥ 15 tahun).
5.      Berbuah sepanjang tahun dan memiliki kapasitas optimal
6.      Memiliki daya kecambah benih ≥ 80%.
          Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme kontaminan. Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terlebih iklim tropis seperti Indonesia yang memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasi sulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman. Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan cara merendam bahan tanaman dalam larutan kimia sistemik pada konsentrasi dan waktu perendaman tertentu, baik dengan menggunakan satu macam maupun dengan macam-macam sterilan. Bahan-bahan yang biasanya digunakan untuk sterilisasi antara lain alkohol, natrium hipoklorit (NaOCl), kalsium hipoklorit atau kaporit (CaOCl), sublimat (HgCl2), dan hidrogen peroksida (H2O2) ( Irwanto, 2006 ).
Tahap inisiasi, eksplan tanaman jati sering menunjukkan gejala pencoklata ( browning ) pada media di sekitar potongan eksplan. Keadaan ini disebabkan karena oksidasi dari senyawa fenolik yang dihasilkan jaringan tanaman jati terutama dari eksplan in vivo. Oksidasi senyawa fenolik tersebut dapat menghambat bahkan bersifat toksik bagi pertumbuhan eksplan. Keadaan ini merupakan masalah yang selalu dihadapi pada tahap awal penanaman eksplan yang berasal dari lapang atau kamar kaca ( Siregar, 2005 ) .
Berbagai cara untuk menanggulangi masalah pencoklatan telah dilakukan, misalnya dengan penggunaan bahan anti oksidan (seperti polivinyl pirolidone atau PVP pada konsentrasi 0,01-2% dan asam askorbik sebanyak 50-200 mg/l) baik sebelum eksplan ditanam pada media maupun penambahan bahan tersebut pada media kultur atau kombinasi keduanya. Pendekatan lain untuk menanggulangi masalah pencoklatan pada kultur tanaman jati, yaitu dengan subkultur atau transfer eksplan secara periodik dengan perlakuan waktu yang berbeda. Sumber eksplan yang digunakan berasal dari tanaman jati terpilih berumur 45 tahun ( Siregar, 2005 ).
Media tumbuh yang cocok merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan. Berbagai komposisi media tumbuh telah dikembang-kan. Dari sekian banyak komposisi media yang telah berkembang, media dasar Murashige dan Skoog (MS)  merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, baik untuk tanaman herba maupun berkayu. Pada tahap induksi tunas tanaman jati, media MS merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, selain itu modifikasi media MS juga banyak digunakan. Penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur merupakan kunci keberhasilan baik pada tahap induksi maupun elongasi tunas. Umumnya media yang digunakan pada tahap induksi tunas jati adalah media MS yang ditambah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin seperti benzylaminopurine (BAP) atau furfurylaminopurine (kinetin) atau kombinasi keduanya dengan konsentrasi antara 0,1-1 mg/l. Media dasar MS ditambah kinetin 0,1 mg/l dan BAP 0,1 mg/l untuk menginduksi tunas adventif dari eksplan tanaman jati berupa tunas ujung dan batang satu buku. Media kultur dibuat padat dengan penambahan 8 g/l agar dan 20 g/l gula serta pH media 5,8 ( Siregar, 2005 ).
Eksplan yang digunakan pada tahap induksi dapat berupa tunas apikal atau tunas adventif yang berasal dari batang satu buku dengan ukuran 1-2 cm. Indikasi lain pada tahap induksi tunas yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pada tahap selanjutnya (tahap elongasi) adalah terbentuknya kalus kompak pada bagian dasar batang eksplan. Umur biakan pada tahap induksi tunas sekitar 3 minggu. Pada umur tersebut biakan sudah berada pada kondisi yang optimal untuk dipindahkan pada tahap elongasi.
Tahap elongasi atau pemanjangan tunas, biakan ditanam pada media dasar MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh atau dapat ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi yang sangat rendah (0,01-0,05 mg/l) bahkan jika perlu dapat ditambah asam giberelik (GA3) dengan konsentrasi 0,1-1 mg/l untuk tujuan pemanjangan buku tanaman. Penambahan gula agar dan pH media sama seperti pada media untuk induksi tunas. Umur yang diperlukan pada tahap elongasi tunas hingga siap untuk dipanen atau digunakan untuk ditransfer kembali pada media induksi berkisar antara 2-4 minggu. Pada umur 3 minggu tunas dapat mencapai tinggi 5-8 cm dengan jumlah buku antara 3-5 dan siap untuk diaklimatisasi. Biakan biasanya disimpan pada kondisi ruangan suhu 25±2oC dengan periode terang (1000-3000 lux) selama 16 jam per hari ( Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2003 ).
Aklimatisasi dapat didefinisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Proses aklimatisasi sangat penting karena akan menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat beradaptasi atau tidak pada kondisi in vivo. Umumnya biakan hasil kultur jaringan yang akan diaklimatisasi harus berupa planlet artinya biakan harus mempunyai perakaran dan pertunasan yang proporsional. Akan tetapi pada perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan, biakan yang akan diaklimatisasi berupa biakan tanpa akar (stek mikro). Induksi perakaran dilakukan pada saat aklimatisasi dengan terlebih dahulu merendam atau mencelupkan bagian dasar batang dalam larutan yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA atau dengan Rooton F. Biakan yang berasal dari tahap elongasi yang akan diaklimatisasi dan diinduksi perakarannya harus terlebih dahulu dibuang bagian kalusnya dan dibersihkan pada air mengalir. Harus diperhatikan pula bahwa dalam proses aklimatisasi tunas jati memerlukan kelembaban yang cukup dan media tumbuh tidak terlalu basah. Media tumbuh yang digunakan dapat berupa campuran tanah + arang sekam (1 : 1) atau tanah + serbuk sabut kelapa (1 : 1) atau tanah + kompos halus (1 : 1) ( Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2003 ).
Media sebaiknya disterilisasi dahulu dengan pemanasan dan tekanan uap. Media yang telah disterilisasi dapat diletakkan dalam bak plastik atau bak semen yang ada di kamar kaca. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penyungkupan dengan plastik, sedangkan untuk mempercepat pertumbuhan bibit, penyemprotan dengan pupuk daun seperti Hyponex, Bayfolan, dan Gandasil sangat dianjurkan pada umur 1 minggu satelah tanam. Aklimatisasi bibit jati di pesemaian disajikan pada. Umur bibit tanaman jati genjah hasil kultur jaringan yang cukup baik untuk dipindahkan ke lapang (bibit siap salur) berumur sekitar 3 bulan. Pada umur tersebut bibit jati genjah dapat mencapai tinggi sekitar 30-50 cm.
Referensi:
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. 2003. Perbanyakan Bibit Jati Melalui Kultur Jaringan( on-line ).  http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&q=perbanyakan+jati+%22perbanyakan+jati%22+filetype%3Apdf&btnG=Telusuri&meta=&aq=&oq=perbanyakan+jati+%22perkembangbiakan+jati%22+filetype%3Apdf . 11 Maret 2010. 
DEPTAN. 2007. Indeks Biologi Dan Pertanian Indonesia ( On-line ). http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-IV.pdf . 11 Maret 2010. 
Irwanto. 2006. Usaha Pengembangan Jati ( On-line ). http://saveforest.webs.com/jati.pdf  . 11 Maret 2010.
Siregar, Edy Batara Mulya. 2005. Potensi Budidaya Jati ( On-line ). http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-edi%20batara10.pdf . 11 Maret 2010.










Minggu, 18 September 2011

Anggrek tanah

Spathoglottis merupakan anggrek terestial yang memiliki spesies kurang lebih 40, yang tersebar luas dari Cina bagian selatan, india bagian selatan, Asia Tenggara, Australia, Samoa, sampai kepulauan pasifik. Dua puluh satu spesies terdapat di Papua Nugini, dan tujuh diantaranya bersifat indigenus di Filipina. Nama genetik Spathoglottis berasal dari bahasa Yunani; spathe berarti belati dan glossa atau glotta berarti lidah, mengacu pada karakteristik labellum dari genus. Nama spesifik plicata diperoleh dari penampilan atau lekukan daun yang plicated, suatu karakter botanik yang digambarkan sebagai plicate. Spathoglottis sp merupakan tanaman taman dan tanaman pot. Anggrek ini pernah dimanfaatkan sebagai bunga potong, tanaman hias taman, Spathoglottis sp ditanam secara massal di dalam bedengan sebagai tanaman pembatas atau tanaman tepi (Qodriyah, 2005). Spathoglottis sp pernah dimanfaatkan sebagai bunga potong andalan Singapura pada era 1930-1940-an. Di Indonesia, Spathoglottis sp dapat tumbuh di dataran rendah maupun  dataran tinggi, bergantung pada spesiesnya. S. plicata banyak dijumpai di dataran rendah dan sedang, sedangkan S. aurea dan S. afnis tumbuh baik di dataran tinggi.kualitas bunga (Qodriyah, 2005). 
Pemulia anggrek Spathoglottis, ada yang beranggapan bahwa kuntum bunga nomor ganjil (dihitung dari pangkal tangkai) paling baik untuk dijadikan induk betina, karena buahnya berbiji banyak dan fertil. Induk jantan dapat diambil dari kuntum sembarang. Prinsip persilangan anggrek sangat sederhana, yaitu dengan jalan mengambil polinia atau polinaria suatu jenis anggrek kemudian dimasukkan ke dalam stigma (lubang kecil) bunga anggrek lain yang telah masak (Sarwono, 2005).
Bunga anggrek sangat mudah bersilang, baik secara alami maupun buatan. Anggrek hasil persilangan buatan, dikenal dengan nama anggrek hibrid. Anggrek yang berasal dari alam disebut anggrek sepesies. Anggrek sepesies merupakan sumber genetik bagi pemulia untuk merakit varietas-varietas baru (Darmono, 2009).
Persilangan anggrek ada tiga macam, (Sarwono, 2005). Interspesifik Merupakan persilangan antara dua spesies dalam satu genus pada seksi yang berbeda. Misalnya, Dendrobium stratiotes x Dendrobium verratrifolium. Masing-masing dari seksi yang sama yaitu Ceratobium.
b.      Interseksionl. Merupakan persilangan antara dua spesies dalam satu genus, tetapi masih satu seksi. Contohnya, Dendrobium phalaenopsis (seksi Phalaenanthe) x Dendrobium stratiotes (seksi Ceratobium).
c.       Intergenerk. Merupakan persilangan antara dua atau lebih genus yang berbeda, tetapi masih dalam kerabat dekat. Hasil persilangan intergenik menghasilkan:
1)      Hibrid bigenik
Merupakan anggrek hasil persilangan antara dua genus yang berbeda. Contoh bigenik: Aranda (Arachnis x Vanda) x Ascxocenda (Ascocentrum x Vanda)
2)      Hibrid trigenik
Merupakan hasil persilangan antara tiga genus yang berbeda. Contoh anggrek hibrid trigenik adalah Mokara (Ascocentrum x Vanda x Arachnis)
3)      Hibrid tetragenik
Merupakan hasil persilangan antara empat genus yang berbeda. Contoh, Potinara (Brassovala x Laelia x Cattleya x Sophronitis)
Menurut Sarwono (2005), prinsip penyerbukan anggrek sangat sederhana, yaitu dengan jalan mengambil polen suatu jenis anggrek, kemudian dimasukkan ke dalam stigma (lubang kecil), bunga anggrek jenis lain yang telah masak. Teknik penyilangan bunga anggrek dapat dibedakan menjadi dua.
a.       Penyilangan anggrek berlempeng perekat
Lempeng perekat pada anggrek disebut juga discus viscidis atau polinaria. Anggrek yang tergolong memiliki lempeng perekat adalah aneka spesies dari genus Vanda dan Arachnis, serta Phalaenopsis amabilis. Teknik penyilangan pada anggrek ini adalah sebagai berikut.
1)      Sisipkan ujung tusuk gigi di bawah ujung operculum,
2)      Tarik ke atas ujung tusuk gigi, sehingga operculum lepas,
3)      Desak polinaria ke luar dari kepala sari sampai terlepas, dengan tusuk gigi,
4)      Polinaria yang terlepas menempel di ujung tusuk gigi,
5)      Polinaria diletakkan dengan hati-hati pada lubang stigma yang telah siap menerima polinaria.
b.      Penyilangan anggrek tak berlempeng perekat
Anggek yang tergolong tidak memiliki lempeng perekat adalah Dendrobium, Cattleya, dan Spathoglottis. Teknik penyilangan pada anggrek ini adalah sebagai berikut :
1)      Ujung tusuk gigi dipakai mengangkat operculum sampai lepas,
2)      Sehelai kertas dipegang di bawah ujung columna untuk menangkap massa polinia yang mungkin terjatuh,
3)      Ujung tusuk gigi dicelupkan ke dalam perekat (lendir) pada lubang stigma agar polinia melekat pada ujung tusuk gigi,
4)      Ujung tusuk gigi yang berperekat disentuhkan ke polinia agar melekat,
5)      Masukkan polinia pada ujung tusuk gigi pada lubang stigma, letakkan pada kiri-kanan lubang tersebut.
Persilangan dilakukan secara searah maupun dua arah (resiprok) antara bunga dengan jumlah kuntum banyak dan tangkai bunga sedang-panjang dengan tanaman bertangkai bunga pendek. Sebelum persilangan dilakukan pemilihan atau seleksi tetua jantan maupun betina, baik untuk tanaman pot, taman atau bunga potong (Qodriyah, 2005). 
Tetua yang berasal dari spesies memiliki karakter yang kuat pada saat disilangkan, sehingga warna bunga hasil persilangan akan cenderung mendominasi, dibandingkan dengan yang bukan spesies (hibrid). Anggrek hibrid (anggrek hasil persilangan) apabila diselfing, warna bunga menjadi pudar dan tidak cerah. Oleh karena itu, dalam melakukan persilangan lebih baik menggunakan tetua yang berasal dari spesies. 
Hibridisasi dinyatakan berhasil apabila dalam satu populasi persilangan muncul variasi seperti warna bunga, tinggi tanaman, atau bentuk tanaman dan semua itu dapat diketahui melalui karakterisasi hasil persilangan. Parameter yang diukur dalam karakterisasi adalah variasi warna bunga, panjang daun, lebar daun, pertambahan jumlah anakan, panjang bunga, panjang tangkai bunga, lebar bunga, panjang bibir, lebar bibir, dan jumlah kuntum tiap tangkai (Sarwono, 2005). Tanaman yang telah disilangkan selanjutnya diberi label tetua betina x tetua jantan, tanggal penyilangan, dan kode persilangan. Jangka waktu 3-4 hari bila tangkai kuntum induk betina masih segar berwarna kehijauan maka persilangan berhasil. Beberapa hari kemudian kelopak dan mahkota bunga mulai layu sampai akhirnya kering dan rontok. Selanjutnya muncul bakal buah berbentuk bulat telur berwarna hijau sampai hijau kecoklatan. Buah dipanen 25-65 hari setelah penyerbukan (Qodriyah, 2005). Biji hasil persilangan disebar dengan keadaan in-vitro. Hal ini, karena biji anggrek hanya memiliki sedikit endosperm sehingga tidak mencukupi untuk pertumbuhan. Di alam, biji anggrek dapat tumbuh karena bersimbiosis dengan mikoriza.