Cari Blog Ini

Senin, 19 September 2011

Kultur Jaringan Jati

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia, awalnya berasal dari India. Nama ilmiah Tectona gradis L. secara historis ” tectona” berasal dari bahasa Portugis ( tekton ) yang berarti tumbuhan yang mempunyai kualitas tinggi. Jati digolongkan sebagai kayu mewah ( fancy wood ) dan memiliki kelas awet yang tinggi yang tahan terhadap gangguan rayap serta jamur dan mampu bertahan sampai 500 tahun. Pohon Jati cocok tumbuh di daerah musim kering agak panjang yaitu berkisar 3-6 bulan pertahun. Besarnya curah hujan yang dibutuhkan rata-rata 1250-1300 mm/tahun dengan temperatur rata-rata tahunan 22-26° C. Daerah-daerah yang banyak ditumbuhi Jati umumnya tanah bertekstur sedang dengan pH netral hingga asam.
Kingdom         : Plantae
Divisi              : Spermatophyta
Kelas               : Angiospermae
Sub-kelas         : Dicotyledoneae
Ordo                : Verbenales
Famili              : Verbenaceae
Genus              : Tectona
Spesies            : Tectona grandis Linn.
Morfologis tanaman jati, memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m. Batang yang bebas cabang dapat mencapai antara 15-20 m bila dilakukan proses pemangkasan. Pohon jati yang tumbuh baik diameter batangnya dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu jati berwarna kecoklat-coklatan atau abu-abu dan sifatnya mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan dapat bercabang. Daun jati berbentuk opposite ( bentuk jantung membulat dengan ujung meruncing), berukuran panjang sekitar 20-50 cm dan lebar 15-40 cm, permukaan daun berbulu. Daun muda jati berwarna kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau keabu-abuan. Tanaman jati yang tumbuh di alam dapat mencapai diameter batang 220 m, namun umumnya jati dengan diameter 50 cm sudah di tebang karena tingginya akan permintaan terhadap kayu jati. Bentuk batang pohon jati tidak teratur serta mempunyai alur. Warna kayu teras (bagian tengah), coklat muda, coklat merah tua, atau merah coklat, sedangkan warna kayu gubal (bagian luar teras hingga kulit) putih kelabu kekuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak rata. Arah serat kayu jati lurus dan agak terpadu. Permukaan kayu jati licin dan agak berminyak serta memiliki gambaran yang indah. Kambium jati memiliki sel-sel yang menghasilkan perpanjangan vertikal dan horizontal, dimulai berkembangnya inti sel berbentuk oval secara memanjang, kemudian akan membelah menjadi 2 sel dan demikian seterusnya. Pada sekitar bulan Juli-September (musim kemarau) tanaman akan mengalami gugur daun dan pada saat itu kambium akan tumbuh lebih sempit dari pertumbuhan musim penghujan. Daya risistensi yang tingi kayu jati terhadap serangan jamur dan rayap disebabkan karena zat extraktif tectoquinin 2- metiol antraqinon. Selain itu, kayu jati masih mengandung kandungan lain, seperti tripoliprena, penil naphtalhena, antraquinin dan komponen lain yang belum terditeksi. Kayu jati memiliki kadar selulosa 46,5 %, lignen 29,9%, pentosan 14,4%, abu 1,4%, dan silika 0,4%, serta nilai kalor 5,081 kal/gr. Kekuatan kayu sesuai uji terhadap rayap dan jamur tergolong kelas II. Dengan demikian, kayu jati dapat terserang rayap dengan kapasitas rendah pada kondisi kayu yang dipengaruhi oleh umur pohon, semakin tua umur kayu semakin sulit terserang rayap. Manfaat dari masing-masing bagian tubuh tanaman jati, yaitu:
1)      Kayu jati digunakan sebagai bahan baku furniture, bangunan dan kerajinan
2)      Kulit jati digunakan sebagai dinding rumah
3)      Getah jati dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit tenggorokan
4)      Daun dapat digunakan sebagi obat kolera dan pembersih luka
5)      Abu pohon jati ditumbuk dengan daun jambu batu dapat menghentikan diare
6)      Daun muda dapat digunakan sebagai pewarna (warna merah)
7)      Daun jati dapat dimanfaatkan untuk pembungkus makanan dan berbagai peralatan karena lebar dan sebagainya.
Tanaman jati muda, batang berbentuk segi empat. Perubahan dari bentuk segi empat ke bentuk bulat umumnya terjadi pada umur 3-4 tahun. Di tanah yang subur, dengan penutupan tajuk cukup rapat menyebabkan pertumbuhan batang yang meninggi lebih dominan dan percabangannya dimulai pada ketinggian 18-20 m. Pohon jati memiliki daun yang kurang lebat tetapi karena daunnya yang lebar, tajuk memberi naungan yang lebat dan merata, bentuk tajuk tidak beraturan sampai bulat telur pada tegakan yang kurang rapat tinggi tajuk agak rendah, dahan jati umumnya bengkok dan memiliki banyak tangkai dengan ranting berbentuk penampang segi empat dan berbulu halus.
Perkembangan ilmu dan teknik budidaya tanaman, saat ini telah tersedia bahan tanaman jati hasil rekayasa teknis, baik melalui pengembangan benih dari pohon plus maupun teknologi kultur vegetatif. Hasilnya berupa klon atau kultivar tanaman jati dengan daur produksi ekonomis sekitar 15 tahun sehingga dalam kurun waktu relatif singkat dapat diperoleh nilai produksi yang cukup menjanjikan. Perbanyakan atau pengembangan secara kultur jaringan atau kultur tunas merupakan upaya pengembangan tanaman melalui pembiakan sel-sel meristematis dari jaringan tanaman, seperti pucuk/tunas, ujung akar, embrio benih, atau bunga.
Secara umum, produksi bibit melalui metode kultur jaringan memerlukan beberapa tahap, yaitu.
1.      penyediaan bahan tanaman (eksplan) dari induk terpilih,
2.      sterilisasi eksplan yang akan ditanam pada media inisiasi,
3.      penanaman pada media untuk penggandaan atau multiplikasi tunas,
4.      penanaman pada media untuk perakaran atau pembentukan planlet, dan
5.      aklimatisasi.
           Beberapa persyaratan pohon induk tanaman jati yaitu.
1.      Pohon memiliki kenampakan (performance) tumbuh yang baik, sehat, dan bertajuk rindang.
2.      Tinggi pohon bebas cabang minimal 4 meter.
3.      Tahan gangguan hama dan penyakit.
4.      Memiliki kematangan umur (maturasi) yang optimal (≥ 15 tahun).
5.      Berbuah sepanjang tahun dan memiliki kapasitas optimal
6.      Memiliki daya kecambah benih ≥ 80%.
          Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme kontaminan. Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terlebih iklim tropis seperti Indonesia yang memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasi sulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman. Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan cara merendam bahan tanaman dalam larutan kimia sistemik pada konsentrasi dan waktu perendaman tertentu, baik dengan menggunakan satu macam maupun dengan macam-macam sterilan. Bahan-bahan yang biasanya digunakan untuk sterilisasi antara lain alkohol, natrium hipoklorit (NaOCl), kalsium hipoklorit atau kaporit (CaOCl), sublimat (HgCl2), dan hidrogen peroksida (H2O2) ( Irwanto, 2006 ).
Tahap inisiasi, eksplan tanaman jati sering menunjukkan gejala pencoklata ( browning ) pada media di sekitar potongan eksplan. Keadaan ini disebabkan karena oksidasi dari senyawa fenolik yang dihasilkan jaringan tanaman jati terutama dari eksplan in vivo. Oksidasi senyawa fenolik tersebut dapat menghambat bahkan bersifat toksik bagi pertumbuhan eksplan. Keadaan ini merupakan masalah yang selalu dihadapi pada tahap awal penanaman eksplan yang berasal dari lapang atau kamar kaca ( Siregar, 2005 ) .
Berbagai cara untuk menanggulangi masalah pencoklatan telah dilakukan, misalnya dengan penggunaan bahan anti oksidan (seperti polivinyl pirolidone atau PVP pada konsentrasi 0,01-2% dan asam askorbik sebanyak 50-200 mg/l) baik sebelum eksplan ditanam pada media maupun penambahan bahan tersebut pada media kultur atau kombinasi keduanya. Pendekatan lain untuk menanggulangi masalah pencoklatan pada kultur tanaman jati, yaitu dengan subkultur atau transfer eksplan secara periodik dengan perlakuan waktu yang berbeda. Sumber eksplan yang digunakan berasal dari tanaman jati terpilih berumur 45 tahun ( Siregar, 2005 ).
Media tumbuh yang cocok merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan. Berbagai komposisi media tumbuh telah dikembang-kan. Dari sekian banyak komposisi media yang telah berkembang, media dasar Murashige dan Skoog (MS)  merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, baik untuk tanaman herba maupun berkayu. Pada tahap induksi tunas tanaman jati, media MS merupakan media dasar yang paling banyak digunakan, selain itu modifikasi media MS juga banyak digunakan. Penambahan zat pengatur tumbuh pada media kultur merupakan kunci keberhasilan baik pada tahap induksi maupun elongasi tunas. Umumnya media yang digunakan pada tahap induksi tunas jati adalah media MS yang ditambah zat pengatur tumbuh golongan sitokinin seperti benzylaminopurine (BAP) atau furfurylaminopurine (kinetin) atau kombinasi keduanya dengan konsentrasi antara 0,1-1 mg/l. Media dasar MS ditambah kinetin 0,1 mg/l dan BAP 0,1 mg/l untuk menginduksi tunas adventif dari eksplan tanaman jati berupa tunas ujung dan batang satu buku. Media kultur dibuat padat dengan penambahan 8 g/l agar dan 20 g/l gula serta pH media 5,8 ( Siregar, 2005 ).
Eksplan yang digunakan pada tahap induksi dapat berupa tunas apikal atau tunas adventif yang berasal dari batang satu buku dengan ukuran 1-2 cm. Indikasi lain pada tahap induksi tunas yang dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhan pada tahap selanjutnya (tahap elongasi) adalah terbentuknya kalus kompak pada bagian dasar batang eksplan. Umur biakan pada tahap induksi tunas sekitar 3 minggu. Pada umur tersebut biakan sudah berada pada kondisi yang optimal untuk dipindahkan pada tahap elongasi.
Tahap elongasi atau pemanjangan tunas, biakan ditanam pada media dasar MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh atau dapat ditambahkan sitokinin dengan konsentrasi yang sangat rendah (0,01-0,05 mg/l) bahkan jika perlu dapat ditambah asam giberelik (GA3) dengan konsentrasi 0,1-1 mg/l untuk tujuan pemanjangan buku tanaman. Penambahan gula agar dan pH media sama seperti pada media untuk induksi tunas. Umur yang diperlukan pada tahap elongasi tunas hingga siap untuk dipanen atau digunakan untuk ditransfer kembali pada media induksi berkisar antara 2-4 minggu. Pada umur 3 minggu tunas dapat mencapai tinggi 5-8 cm dengan jumlah buku antara 3-5 dan siap untuk diaklimatisasi. Biakan biasanya disimpan pada kondisi ruangan suhu 25±2oC dengan periode terang (1000-3000 lux) selama 16 jam per hari ( Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2003 ).
Aklimatisasi dapat didefinisikan sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada lingkungan yang baru. Proses aklimatisasi sangat penting karena akan menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat beradaptasi atau tidak pada kondisi in vivo. Umumnya biakan hasil kultur jaringan yang akan diaklimatisasi harus berupa planlet artinya biakan harus mempunyai perakaran dan pertunasan yang proporsional. Akan tetapi pada perbanyakan tanaman jati melalui kultur jaringan, biakan yang akan diaklimatisasi berupa biakan tanpa akar (stek mikro). Induksi perakaran dilakukan pada saat aklimatisasi dengan terlebih dahulu merendam atau mencelupkan bagian dasar batang dalam larutan yang mengandung senyawa auksin seperti IBA dan NAA atau dengan Rooton F. Biakan yang berasal dari tahap elongasi yang akan diaklimatisasi dan diinduksi perakarannya harus terlebih dahulu dibuang bagian kalusnya dan dibersihkan pada air mengalir. Harus diperhatikan pula bahwa dalam proses aklimatisasi tunas jati memerlukan kelembaban yang cukup dan media tumbuh tidak terlalu basah. Media tumbuh yang digunakan dapat berupa campuran tanah + arang sekam (1 : 1) atau tanah + serbuk sabut kelapa (1 : 1) atau tanah + kompos halus (1 : 1) ( Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2003 ).
Media sebaiknya disterilisasi dahulu dengan pemanasan dan tekanan uap. Media yang telah disterilisasi dapat diletakkan dalam bak plastik atau bak semen yang ada di kamar kaca. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penyungkupan dengan plastik, sedangkan untuk mempercepat pertumbuhan bibit, penyemprotan dengan pupuk daun seperti Hyponex, Bayfolan, dan Gandasil sangat dianjurkan pada umur 1 minggu satelah tanam. Aklimatisasi bibit jati di pesemaian disajikan pada. Umur bibit tanaman jati genjah hasil kultur jaringan yang cukup baik untuk dipindahkan ke lapang (bibit siap salur) berumur sekitar 3 bulan. Pada umur tersebut bibit jati genjah dapat mencapai tinggi sekitar 30-50 cm.
Referensi:
Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. 2003. Perbanyakan Bibit Jati Melalui Kultur Jaringan( on-line ).  http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&q=perbanyakan+jati+%22perbanyakan+jati%22+filetype%3Apdf&btnG=Telusuri&meta=&aq=&oq=perbanyakan+jati+%22perkembangbiakan+jati%22+filetype%3Apdf . 11 Maret 2010. 
DEPTAN. 2007. Indeks Biologi Dan Pertanian Indonesia ( On-line ). http://www.litbang.deptan.go.id/regulasi/one/12/file/BAB-IV.pdf . 11 Maret 2010. 
Irwanto. 2006. Usaha Pengembangan Jati ( On-line ). http://saveforest.webs.com/jati.pdf  . 11 Maret 2010.
Siregar, Edy Batara Mulya. 2005. Potensi Budidaya Jati ( On-line ). http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-edi%20batara10.pdf . 11 Maret 2010.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar